Suami, Pemimpin Bagi Keluarga
K.H. Abdullah Gymnastiar
Awal
mula kehidupan seseorang berumah tangga dimulai dengan ijab-kabul. Saat itulah
yang halal bisa jadi haram, atau sebaliknya yang haram bisa jadi halal.
Demikianlah ALLOH telah menetapkan bahwa ijab-kabul walau hanya beberapa patah
kata dan hanya beberapa saat saja, tapi ternyata bisa menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal.
Saat
itu terdapat mempelai pria, mempelai wanita, wali, dan saksi, lalu ijab-kabul
dilakukan, sahlah keduanya sebagai suami-istri. Status keduanya pun berubah,
asalnya kenalan biasa tiba-tiba jadi suami, asalnya tetangga rumah tiba-tiba
jadi istri. Orang tua pun yang tadinya sepasang, saat itu tambah lagi sepasang.
Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan dia tidak siap serta tidak
mengerti bagaimana memposisikan diri, maka rumah tangganya hanya akan menjadi
awal berdatangannya aneka masalah.
Ketika seorang suami tidak sadar
bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti seorang yang belum beristri,
akan jadi masalah. Dia juga punya mertua, itupun harus menjadi bagian yang harus
disadari oleh seorang suami. Setahun, dua tahun kalau ALLOH mengijinkan akan
punya anak, yang berarti bertambah lagi status sebagai bapak. Ke mertua jadi
anak, ke istri jadi suami, ke anak jadi bapak. Bayangkan begitu banyak status
yang disandang yang kalau tidak tahu ilmunya justru status ini akan membawa
mudharat. Karenanya menikah itu tidak semudah yang diduga, pernikahan
yang tanpa ilmu berarti segera bersiaplah untuk mengarungi aneka derita. Kenapa
ada orang yang stress dalam rumah tangganya? Hal ini terjadi karena ilmunya
tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya.
Begitu juga bagi wanita yang
menikah, ia akan jadi seorang istri. Tentusaja tidak bisa sembarangan kalau
sudah menjadi istri, karena memang sudah ada ikatan tersendiri. Status juga
bertambah, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, ALLOH
telah menyetingnya sedemikian rupa, sehingga suami dan istri, keduanya mempunyai
peran yang berbeda-beda.
Tidak
bisa menuntut emansipasi, karena memang tidak perlu ada emansipasi, yang
diperlukan adalah saling melengkapi. Seperti halnya sebuah bangunan yang
menjulang tinggi, ternyata dapat berdiri kokoh karena adanya prinsip saling
melengkapi. Ada semen, bata, pasir, beton, kayu, dan bahan-bahan bangunan
lainnya lalu bergabung dengan tepat sesuai posisi dan proporsinya sehingga
kokohlah bangunan itu.
Sebuah rumah tangga juga demikian,
jika suami tidak tahu posisi, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga istri
tidak tahu posisi, anak tidak tahu posisi, mertua tidak tahu posisi, maka akan
seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya, ia akan
segera ambruk tidak karu-karuan. Begitu juga jika mertua tidak pandai-pandai
jaga diri, misal dengan mengintervensi langsung pada manajemen rumah tangga
anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya
sendiri.
Seorang suami juga harus sadar
bahwa ia pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki adalah
pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta
mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).
Dan
seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Artinya,
jangan merasa lebih dari yang dipimpin. Seperti halnya presiden tidak usah
sombong kepada rakyatnya, karena kalau tidak ada rakyat lalu mengaku jadi
presiden, bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat,
karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden.
Sama
halnya dengan kasus orang yang menghina tukang jahit, padahal bajunya sendiri
dijahit, "Hmm, tukang jahit itu pegawai rendahan". Coba kalau bajunya tidak
dijahitkan oleh tukang jahit, tentu dia akan kerepotan menutup auratnya. Dia
dihormati karena bajunya diselesaikan tukang jahit. Lain lagi dengan yang
menghina tukang sepatu, "Ah, dia mah cuma tukang sepatu". Sambil dia kemana-mana
bergaya memakai sepatu.
Tidak
layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin, karena status pemimpin
itu ada jikalau ada yang dipimpin. Misalkan, istrinya bergelar master
lulusan luar negeri sedangkan suaminya lulusan SMU, dalam hal kepemimpinan rumah
tangga tetap tidak bisa jadi berbalik dengan istri menjadi pemimpin keluarga.
Dalam kasus lain, misalkan, di kantornya istri jadi atasan, suami kebetulan
stafnya, saat di rumah beda urusannya. Seorang suami tetaplah pemimpin bagi
istri dan anak-anaknya.
Oleh
karena itu, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai suami.
Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang,
nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau
sais bagi sebuah delman. Demikianlah suami adalah seorang pemimpin bagi
keluarganya. Sebagai seorang pemimpin harus berpikir bagaimana nih
mengatur bahtera rumah tangga ini mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai
gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal lain untuk menepi di
pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yaitu surga.
Karenanya seorang suami harus tahu
ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat
tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung
sejenak, "Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan
istri dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga bisa kembali ke pantai pulang
nanti?!". Karena menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga
penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting
tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi.
Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong
juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong?! Hanya
beda cara saja, tapi kalau cita-citanya sama, apa bedanya?
Buat
kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain
supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai
statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rijki yang statusnya halal.
Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus
pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan sampai asal main comot.
Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak
ikan, tetap harus hati-hati, siapa tahu yang nyangkut dipancing ikan hiu yang
justru bisa mengunyah kita, atau nampak manis gemulai tapi ternyata ikan
duyung.
Ketika ijab kabul, seorang suami
harusnya bertekad, "Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi
episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan
penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga". Bahkan jikalau dalam
kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, ponakan, atau yang lainnya,
maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan
akhir yang sama, yaitu surga.
ALLOH
Azza wa Jalla mengingatkan kita dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu…" (Q.S. At Tahriim [66]:6).
Kepada pembantu jangan hanya mampu
nyuruh kerja saja, karena kalau saja dulu lahirnya ALLOH tukarkan, majikan lahir
dari orang tua pembantu, dan pembantu lahir dari orang tua majikan, maka si
majikan yang justru sekarang lagi ngepel. Pembantu adalah titipan ALLOH, kita
harus mendidiknya dengan baik, kita sejahterakan lahir batinnya, kita tambah
ilmunya, mudah-mudahan orang tuanya bantu-bantu di kita, anaknya bisa lebih
tinggi pendidikannya, dan yang terpenting lagi lebih tinggi akhlaknya.
Inilah pemimpin
ideal, yaitu pemimpin yang bersungguh-sungguh mau memajukan setiap orang yang
dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. ***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment